Home > Research > Press > Baru 15 Persen Petani Bisa Pasok Langsung ke Ri...
View graph of relations

Baru 15 Persen Petani Bisa Pasok Langsung ke Ritel Modern

Press/Media: Research

Description

HANDRI HANDRIANSYAH/PRLM
PARA pembicara berfoto bersama seusai Seminar Pembangunan Pertanian Inklusif di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Rabu (9/9/2015).*

BANDUNG, (PRLM).- Hingga saat ini baru sekitar 15 persen petani Indonesia yang mampu menjadi pemasok langsung komoditas segar ke pasar ritel modern. Padahal jalur distribusi langsung itu bisa meningkatkan pendapatan 10-30 persen lebih besar ketimbang petani tradisonal pada umumnya.

Supply Chain Director PT Hero Supermarket Heru Pribadi mengatakan, kondisi itu menunjukan bahwa rantai distribusi komoditas pertanian negeri ini rata-rata masih cukup panjang.

"Masih ada yang harus melalui beberapa rantai pengumpul dan bandar," katanya, dalam Seminar Pembangunan Pertanian Inklusif, di Bale Sawala Gedug Rektorat Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Rabu (9/9/2015).

Menurut Heru, pihaknya saja saat ini masih lebih banyak mendapat pasokan komoditas pertanian melalui rantai yang panjang. Tidak hanya lewat satu pengumpul, tapi bisa dua hingga tiga bandar.

Hal itu, kata Heru, menjadi penyebab masih banyaknya komoditas pertanian lokal yang harganya tinggi dengan tingkat kesegaran belum optimal di pasar ritel modern.

Betapa tidak, sebagian besar komoditas pertanian lokal di pasar ritel modern saat ini masih didominasi tiga rantai distribusi utama. Pertama dan paling sederhana, petani menjual hasi panen ke bandar yang langsung memasok ke pasar ritel modern.

Jalur lain adalah petani menjual ke pengumpul, dilanjutkan ke bandar, baru dipasok ke pasar ritel modern. Sementara rantai terpanjang terjadi ketika petani menjual hasil panen ke pengumpul, diteruskan ke pasar induk, lalu ke bandar dan akhirnya ke pasar ritel modern.

Jika merunut pada data Kementerian Perdagangan bahwa 80 persen produk di pasar ritel modern adalah produk lokal, maka rantai distribusi yang panjang masih menjadi kendala utama belum meningkatnya kesejahteraan petani secara signifikan.

Hal itulah, ujar Heru, yang mendorong pihaknya untuk terus membina petani kecil di beberapa daerah. Harapannya, mereka bisa memasok langsung hasil panen ke pasar ritel modern, sesuai standar kualitas yang diminta.

Dengan begitu, tidak hanya petani yang bisa mendapatkan harga jual yang lebih layak, pasar ritel modern pun bisa menekan ongkos distribusi dan konsumen mendapatkan produk berkualitas dengan harga lebih ringan. Belum lagi kondisi produk yang pastinya jauh lebih segar karena langsung dikirim dari kebun.

Pakar sosiologi pertanian Unpad Ganjar kurnia sependapat akan hal itu. Ia menilai bahwa sudah saatnya sektor pertanian dibangun secara inklusif.

"Artinya pembangunan pertanian dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak, terutama petani kecil. Tidak seperti pembangunan ekslusif yang hanya melibatkan kelompok kecil tertentu saja," ujarnya.

Menurut Ganjar, hal itu mendesak dilakukan karena petani Indonesia sebagian besar hanya menggarap lahan kecil. Selain itu, keterbatasan modal, minimnya teknologi dan kebergantungan terhadap musim, membuat akses mereka terhadap pasar sempit.

Ujungnya, mereka harus menjual hasil panen dengan harga rendah ke pengumpul atau bandar besar yang tak jarang mengeruk keuntungan jauh lebih besar.

Sementara itu Bhakti Stephan Onggo dari Department of Management Science Lancaster University Management School mengatakan, inti sistem model pembangunan inklusif adalah meningkatkan peran masyarakat dalam penyusunan kebijakan pemerintah.

Menurut Bhakti, pemerintah harus lebih banyak mendengarkan masukan dari rakyat kecil dan miskin. Mereka harus dijadikan subjek, bukan objek kebijakan yang justru disusun untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kebijakan juga disusun dengan melibatkan kaum adat. (Handri Handriansyah/A-89)***

Period9/09/2015
HANDRI HANDRIANSYAH/PRLM
PARA pembicara berfoto bersama seusai Seminar Pembangunan Pertanian Inklusif di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Rabu (9/9/2015).*

BANDUNG, (PRLM).- Hingga saat ini baru sekitar 15 persen petani Indonesia yang mampu menjadi pemasok langsung komoditas segar ke pasar ritel modern. Padahal jalur distribusi langsung itu bisa meningkatkan pendapatan 10-30 persen lebih besar ketimbang petani tradisonal pada umumnya.

Supply Chain Director PT Hero Supermarket Heru Pribadi mengatakan, kondisi itu menunjukan bahwa rantai distribusi komoditas pertanian negeri ini rata-rata masih cukup panjang.

"Masih ada yang harus melalui beberapa rantai pengumpul dan bandar," katanya, dalam Seminar Pembangunan Pertanian Inklusif, di Bale Sawala Gedug Rektorat Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Rabu (9/9/2015).

Menurut Heru, pihaknya saja saat ini masih lebih banyak mendapat pasokan komoditas pertanian melalui rantai yang panjang. Tidak hanya lewat satu pengumpul, tapi bisa dua hingga tiga bandar.

Hal itu, kata Heru, menjadi penyebab masih banyaknya komoditas pertanian lokal yang harganya tinggi dengan tingkat kesegaran belum optimal di pasar ritel modern.

Betapa tidak, sebagian besar komoditas pertanian lokal di pasar ritel modern saat ini masih didominasi tiga rantai distribusi utama. Pertama dan paling sederhana, petani menjual hasi panen ke bandar yang langsung memasok ke pasar ritel modern.

Jalur lain adalah petani menjual ke pengumpul, dilanjutkan ke bandar, baru dipasok ke pasar ritel modern. Sementara rantai terpanjang terjadi ketika petani menjual hasil panen ke pengumpul, diteruskan ke pasar induk, lalu ke bandar dan akhirnya ke pasar ritel modern.

Jika merunut pada data Kementerian Perdagangan bahwa 80 persen produk di pasar ritel modern adalah produk lokal, maka rantai distribusi yang panjang masih menjadi kendala utama belum meningkatnya kesejahteraan petani secara signifikan.

Hal itulah, ujar Heru, yang mendorong pihaknya untuk terus membina petani kecil di beberapa daerah. Harapannya, mereka bisa memasok langsung hasil panen ke pasar ritel modern, sesuai standar kualitas yang diminta.

Dengan begitu, tidak hanya petani yang bisa mendapatkan harga jual yang lebih layak, pasar ritel modern pun bisa menekan ongkos distribusi dan konsumen mendapatkan produk berkualitas dengan harga lebih ringan. Belum lagi kondisi produk yang pastinya jauh lebih segar karena langsung dikirim dari kebun.

Pakar sosiologi pertanian Unpad Ganjar kurnia sependapat akan hal itu. Ia menilai bahwa sudah saatnya sektor pertanian dibangun secara inklusif.

"Artinya pembangunan pertanian dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak, terutama petani kecil. Tidak seperti pembangunan ekslusif yang hanya melibatkan kelompok kecil tertentu saja," ujarnya.

Menurut Ganjar, hal itu mendesak dilakukan karena petani Indonesia sebagian besar hanya menggarap lahan kecil. Selain itu, keterbatasan modal, minimnya teknologi dan kebergantungan terhadap musim, membuat akses mereka terhadap pasar sempit.

Ujungnya, mereka harus menjual hasil panen dengan harga rendah ke pengumpul atau bandar besar yang tak jarang mengeruk keuntungan jauh lebih besar.

Sementara itu Bhakti Stephan Onggo dari Department of Management Science Lancaster University Management School mengatakan, inti sistem model pembangunan inklusif adalah meningkatkan peran masyarakat dalam penyusunan kebijakan pemerintah.

Menurut Bhakti, pemerintah harus lebih banyak mendengarkan masukan dari rakyat kecil dan miskin. Mereka harus dijadikan subjek, bukan objek kebijakan yang justru disusun untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kebijakan juga disusun dengan melibatkan kaum adat. (Handri Handriansyah/A-89)***

References

TitleBaru 15 Persen Petani Bisa Pasok Langsung ke Ritel Modern
Media name/outletPikiran Rakyat Online
Media typeWeb
Date9/09/15
Producer/AuthorHANDRI HANDRIANSYAH
PersonsStephan Onggo